60 Usia di Ambang Maut

Posted on 07.05 by SMART MOSLEM | 0 komentar

Saudara dan saudariku sesama Muslim,Kehidupan manusia di dunia ini dimulai saat ruhnya ditiupkan ketika janin berada dalam kandungan ibunya. Kemudian jika dia ditakdirkan Sang Pencipta untuk hidup, maka ia akan dilahirkan. Selanjutnya ia akan tumbuh menjadi besar untuk menghabiskan ‘sesaat’ waktunya menjalani kehidupan di atas bumi ciptaan-Nya ini. Kemudian kehidupannya di dunia itu akan berakhir ketika dicabut ruhnya. Saat ajal menjemputnya, itulah akhir kehidupannya di dunia yang fana (sementara / tidak abadi) ini, namun pada saat itulah dimulai awal dari hari-hari penantiannya yang panjang dalam kehidupannya di alam barzakh yang jelas-jelas bergantung pada amal dan perbuatannya selama didunia, jika amal ibadahnya selama hidup didunia baik maka penantian yang panjang itu akan terasa singkat.


Selanjutnya, kelak ketika sangkakala telah diperintahkan-Nya untuk ditiupkan, dimulailah penghisaban dirinya yang menjadi hari penentu dari kehidupan akhiratnya yang kekal dan abadi.

Rasulullah SAW bersabda : “ Saat manusia tumbuh menjadi besar, ada dua hal yang ikut menjadi besar bersamanya, yakni cinta harta dan berangan-angan akan panjang usianya “. (HR. Bukhori).

Usia manusia oleh sebagian ulama dibagi dalam empat tahapan masa kehidupannya di dunia ini, yaitu masa kecil, masa muda, masa separuh baya, dan masa tua. Usia enam puluh tahun, disebut sebagai usia yang sudah memasuki masa tua. Umumnya, manusia pada usia ini sudah cenderung melemah kekuatan dan menurun daya tahan fisiknya. Usia enam puluh tahun dapatlah dikatakan sebagai usia yang sudah berada di ambang maut, usia yang sudah mendekati ‘pertarungan’ dengan maut.

Rasulullah SAW bersabda : “ Usia umatku berkisar antara enam puluh hingga tujuh puluh tahun. Sedikit yang berhasil melewatinya “. (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Usman bin Affan pernah berkata bahwa sesungguhnya Allah SWT menyukai orang yang berusia dua puluh tahun, namun bersikap seperti orang berusia delapan puluh tahun. Dan, Allah SWT membenci orang yang berusia enam puluh tahun, tapi bersikap seperti orang berusia dua puluh tahun.

Rasulullah SAW bersabda : “ Manusia menjadi tua dan ada dua hal yang akan tetap muda ikut bersamanya, yakni kecintaan mencari harta dan hasrat memperpanjang usianya “. (HR. Muslim).

Al-Qurthubi pernah menjelaskan bahwa sesungguhnya Allah SWT telah menciptakan hamba untuk hidup dan memiliki ilmu, karena dengan itulah tercapai kesempurnaannya. Lalu Allah menimpakan kepadanya pelbagai halangan seperti tidur, hadats, dan berkurangnya kemampuan fisik, karena kesempurnaan sejati hanya milik Yang Maha Awal, Yang Tiada Berawal, Yang Maha Pencipta, Allah SWT. Kalau seseorang bisa mengurangi tidur dengan sedikit makan dan begadang malam, hendaknya ia mencoba melakukannya. Bodoh namanya, kalau seseorang hidup selama enam puluh tahun tapi sepanjang malam tidur, sehingga setengah usianya habis sia-sia. Lalu tidur lagi di siang bolong mengikuti nafsu malasnya untuk beristirahat, habislah dua pertiga usianya. Yang tersisa baginya hanya dua puluh tahun saja. Sungguh bodoh dan pandir, kalau seseorang menghabiskan dua pertiga usianya hanya untuk kenikmatan semu, namun enggan menghabiskan usianya dalam kenikmatan abadi, disisi Yang Maha Kaya, Yang Maha Sempurna, Yang Tidak Pernah Tidak Ada, dan Yang Tidak Pernah Berbuat Zalim.

Rasulullah SAW bersabda : “ Hati orang yang berusia lanjut akan tetap muda dalam dua hal, yakni cinta dunia dan berangan-angan panjang “. (HR. Bukhori).

Bolehlah dikatakan usia enam puluh tahun sebagai batas paling akhir untuk dirinya sudah memfokuskan hari-hari di sisa kehidupannya itu kepada kekhusyukan dan kepasrahan serta urusan akhirat dalam rangka menanti datangnya ajal. Mereka yang telah berusia mencapai enam puluh tahun haruslah bersyukur, sebab usianya itu berarti ia telah diberikan kelonggaran. Sesungguhnya tak banyak lagi hari yang tersisa baginya untuk berangan-angan panjang dan mencintai dunia, karena tak berapa lama lagi akan tercapai batas akhir dari kelonggaran usianya.

Rasulullah SAW bersabda : “ Barangsiapa yang dipanjangkan usianya hingga enam puluh tahun, berarti Allah memberikan udzur atau kelonggaran pada usianya “. (HR. Abu Hurairah dan Ibnu Mardawaih).

Allah SWT berfirman :

“ Dan mereka berteriak di dalam neraka itu : ‘ Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami niscaya kami akan mengerjakan amal yang saleh, berlainan dengan yang telah kami kerjakan ‘. Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan ?, maka rasakanlah (azab Kami) dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolong pun “. (QS : Fathir : 37).

Rasulullah SAW bersabda : “ Sungguh para nabi sebelumku telah memberikan peringatan secara amat baik. Dan sungguh, di hari kiamat nanti akan datang panggilan dari sisi Allah kepada mereka yang berusia enam puluh tahun. Dan apakah kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan ? “. (HR. Abu Hurairah).

Allah SWT telah memberikan kelonggaran dengan memanjangkan usianya, tentunya agar mereka yang telah dipanjangkan usianya itu segera melaksanakan pelbagai ketaatan, amal saleh, ibadah yang khusyuk, dan memohon rahmat-Nya untuk pengampunan atas segala kesalahan serta dosa yang telah diperbuatnya. Semua itu demi sesuatu yang amat dibutuhkannya di hari kefakiran kelak, ketika telah tiba hari penghisaban atas diri
mereka.

Rasulullah SAW bersabda : “ Pertarungan maut itu berada diantara usia enam puluh tahun hingga tujuh puluh tahun “. (HR. Bukhori).

Fudhoil bin Iyyadh pernah berkata kepada seseorang lelaki : “ Berapa tahun usiamu ? “.
Kemudian orang itu menjawab : “ Enam puluh tahun “.

Lalu Fudhoil berkata : “ Semenjak enam puluh tahun engkau berjalan menuju Robbmu, nyaris saja engkau sampai tujuan “.

Lelaki itu kemudian menyahutnya : “ Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Roji’un “.

Fudhoil lalu menanyakannya : “ Engkau mengetahui tafsir dari kalimat itu ?“.

Lelaki itu menjawabnya : “ Tolong tafsirkan kalimat itu untukku, wahai Abu Ali “.

Fudhoil pun lalu mentafsirkannya : “ Siapa saja yang menyadari bahwa dirinya adalah hamba Allah, dan bahwa dia pasti akan berpulang kepada Robbnya, maka hendaklah ia menyadarinya bahwa ia pasti akan berdiri dihadapan Allah. Barangsiapa yang menyadari bahwa ia akan berdiri
dihadapan-Nya, hendaknya ia menyadari bahwa ia harus bertanggungjawab. Siapa saja yang mengetahui bahwa ia harus bertanggungjawab, maka hendaknya ia menyediakan jawaban untuk pertanyaan kelak “.

Lelaki itu kemudian menanyakan : “ Lalu, bagaimana jalan keluarnya ? ”.

Fudhoil menjawab : “ Mudah saja “.

Lelaki itu menyahutnya : “ Mudah itu yang bagaimana ? “.

Fudhoil menjelaskannya : “ Berbuat baiklah pada sisa usiamu, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu yang terdahulu. Janganlah engkau berbuat keburukan pada masa yang tersisa, karena segala perbuatanmu di masa lampau dan yang akan datang itu akan diperhitungkan di sisi-Nya “.

Rasulullah SAW bersabda : “ Kalau seseorang manusia meninggal dunia, amal perbuatannya terputus, kecuali tiga hal, yakni sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, serta anak saleh yang mendoakan orangtuanya “. (HR. Muslim).

Makna hadits ini oleh beberapa ulama dikatakan bahwa pahala dari amalan orang yang sudah meninggal dunia akan terputus oleh kematiannya kecuali tiga hal itu. Namun ketiganya, yaitu harta dan ilmu serta anak, juga dapat menyebabkan dosanya masih akan terus ditunainya. Hal itu karena hakikat penyebab dari pahala dan dosa yang ditimbulkan dari ketiganya itu.

Harta dunia yang diwariskannya dapat menjadi hal maslahat berupa pahala yang terus mengalir baginya di kehidupan akhirat, jika harta yang ditinggalkannya itu memberikan manfaat bagi kebaikan dunia menurut parameter kebaikan berdasarkan nilai-nilai agama yang diridhoi oleh Allah SWT. Namun justru akan menjadi mudharat berupa dosa yang terus ditunainya di kehidupan akhirat, jika harta yang ditinggalkannya itu telah menjadikan kemaksiatan di dunia, apalagi jika menyebabkan pertengkaran diantara ahli warisnya. Bahkan lebih parah lagi jika hartanya itu malahan dijadikan sarana berbuat kemaksiatan oleh para ahli warisnya. Oleh sebab berhati-hatilah dengan harta dunia, ia dapat memberikan aliran pahala yang tiada terputus, namun dapat membuahkan dosa yang mengalir tiada terputus pula. Sesungguhnya hanya harta berupa sedekah jariyah dan wakaf yang akan menjamin kesejahteraan kehidupan akhiratnya.

Demikan juga dengan ilmu yang ditinggalkannya melalui pengajaran dan tulisannya. Kemanfaatan dan kemudharatan dari ilmunya itu tentu menurut parameter manfaat dan kebaikan berdasarkan nilai-nilai yang diridhoi Allah SWT. Tak berbeda dengan anak keturunannya sebagai hasil didikan dan pengasuhan serta pengajarannya. Oleh sebab itu berhati-hatilah dalam pengajaran ilmu dan pengasuhan anak. Ingatlah hanya anak keturunan yang soleh dan solehah saja yang akan diterima doa permohonan pengampunan bagi dosa orangtuanya, bukan doa dari anak keturunan yang tak soleh dan tak solehah.

Imam Ahmad pernah berkata bahwa suatu ketika Rasulullah SAW dihadapan beberapa sahabatnya
bersabda : “ Maukah kalian aku tunjukkan orang terbaik di antara kalian ? ”. Para sahabatnya menjawab : “ Mau, wahai Rasulullah “. Selanjutnya beliau Nabi SAW bersabda : “ Yang terbaik di antara kalian adalah yang paling panjang usianya dan terbaik amalannya“.

Sungguh usia panjang itu adalah aset berharga dan bermanfaat yang mendatangkan pahala baginya, jika usianya itu bernilai keimanan dan kebaikan sesuai dengan kebenaran-Nya. Namun usia panjang itu dapat merupakan kerugian tiada tara bagi dirinya yang akan mendatangkan dosa baginya, jika disepanjang usianya itu berisikan kemaksiatan dan kedurhakaan kepada-Nya.

Imam Bukhori dan Imam Muslim meriwayatkan suatu doa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW : “Ya Allah, biarkanlah aku hidup kalau memang hidup ini lebih baik bagiku, dan cabutlah nyawaku kalau memang kematian itu lebih baik bagiku “.

Anas ra meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda : “ Kalau Allah menginginkan kebaikan pada diri hamba-Nya, pasti Allah akan membuatnya beramal ”.Kemudian para sahabatnya bertanya : “ Bagaimana Allah membuatnya beramal ? “. Rasulullah SAW menjawabnya : “ Allah akan memberinya taufik dan hidayah-Nya agar mampu beramal salih sebelum matinya “.

Akhirulkalam. Bersyukurlah bagi mereka yang diberikan kelonggaran usia oleh Allah SWT, seyogyanya usianya itu tidak disia-siakan olehnya. Rasulullah SAW bersabda :

“ Allah telah memberikan udzur kepada seseorang dengan menangguhkan ajalnya, sehingga mencapai usia enam puluh tahun “ (HR. Ahmad).

Dan Rasulullah SAW juga bersabda : “ Sesungguhnya amal perbuatan dinilai sesuai dengan bagian akhirnya “ (HR. Bukhori). Bagian akhir itu adalah saat ajal menjemput kita, akan khusnul khotimah-kah akhir hidup kita ?, Akankah disaat sakaratul maut nantinya ketika lidah di mulut kita telah kelu maka lidah di kalbu kita ini masih akan mampu mengucapkan ‘ Laa Illaha Ilalllah Muhammadur Rasulullah ‘ yang merupakan suatu kalimat jaminan surga bagi kita di kehidupan akhirat kelak ?.

Tulisan ini disadur oleh NN dari buku “ Misteri Umur 60 : Menyibak Pernik-Pernik Usia Kritis Di Ambang Maut “ yang ditulis oleh Ali bin Sa’id bin D’jam dan diterbitkan oleh Wacana Ilmiah Press - Solo.